Minggu, 24 Oktober 2010

FENOMENA “TATA NIAGA TEMBAKAU MADURA” (jilid 1)



Oleh : M. HAZIN MUKTI
          Staf Pengajar Fakultas Teknik – Universitas Madura
          Direktur IPPAD

A. Pendahuluan
Tata Niaga Tembakau Madura terbentuknya sampai sekrang belum bisa di ketahui secara pasti apakah Pabrikan yang menciptakan atau kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan pihak Pabrikan, hasil penelusuran di lapangan ternyata juga tidak jelas, tetapi yang pasti Tata niaga Tembakau Madura yang sudah sejak dulu terjadi seperti saat ini.
Dan yang lebih menarik setiap Tahun/musim tembakau selalu terjadi Polemik baik dikalangan Petani, Pedagang, maupun Pihak Gudang Pabrikan yang merupakan kepanjangan tangan Pabrikan untuk membeli Tembakau Rajang Madura.
Tolok Ukur Tembakau Madura baik kwalitas maupun kwantitas adalah Tembakau Pamekasan hal ini bisa dilihat Gudang Pembelian Tembakau yang merupakan kepanjangan tangan dari Pabrikan Berada di Kabupaten Pamekasan, memang pada awalnya Tembakau Madura arealnya berada di Kabupaten Pamekasan yang akhirnya lahan tersebut berkembang ke Kabupaten Sumenep, Sampang bahkan sudah merebah ke Bangkalan.
B. Sistem Tata Niaga Tembakau
Yang dimaksud dengan Sistem Tata Niaga Tembakau Madura adalah Proses pembelian Tembekau Madura oleh Pabrikan, Pabrikan dalam proses pembelian melalui Gudang yang telah ada di Kabupaten Pamekasan, bahkan Kabupaten Sumenep juga sudah ada juga ( Gudang Garam ).
Pihak Pabrikan yang telah memiliki “Gudang Pembelian” adalah Gudang Garam, Samporna, Djarum, Wismilak, Bentol dan Pabrikan dari Rokok-rokok lainnya yang pembeliannya tdk cukup besar seperti Oepet, Niki, Reco Pentung dll.
Dari sekian Pabrikan Proses pembelian Tembakau ada 2 (dua) Model yaitu :
1. Model Pembelian Pihak “Gudang Pabrikan” Melalui “BANDUL”
Bandul adalah Orang yang ditunjuk (dipercaya) oleh Pihak “Gudang Pabrikan” untuk memasukkan Tembakau (menjual ke “Gudang Pabrikan”), artinya siapapun baik itu Petani maupun Pedagang(tengkulak) yang ingin memasukkan (menjual) Tembakau ke “Gudang Pabrikan” harus melalui “BANDUL” tersebut.
Model ini Proses pembelian “Gudang Pabrikan” di sortir langsung. jadi berapapun jumlah Tembakau yang akan di beli disortir oleh Grider secara langsung apabila tdk masuk pada gride yg dikehendaki maka tembakau tsb akan di tolak atau gridenya/kelasnya turun apabila sepakat akan dibeli, biasanya jarang terjadi tembakau ditolak karena pihak Bandul sudah lebih dulu mengecek tembakau yang akan di masukkan ke “Gudang Pabrikan”.
Dan Model ini biasanya sangat tampak kegiatan pembelian Tembakau yang dilakukan oleh “Gudang Pabrikan”, karena biasanya terjadi antrian kendaraan pengangkut Tembakau tsb. untuk menunggu giliran disortir.
2. Model Pembelian Pihak “Gudang Pabrikan” melalui “RANTING”
“Ranting” adalah orang yang di tunjuk oleh “Gudang Pabrikan” untuk membeli Tembakau dan biasanya “ranting” ini dalam pembeliannya sudah mendapat kapasitas order yang harus dipenuhi (sudah ditetapkan besaran ordernya oleh pihak “Gudang Pabrikan”), dan kemudian pihak “Ranting” mengirim contoh ke “Gudang Pabrikan” setelah ada kesesuaian biasanya pengiriman tembakau secara keselurauhan beberapa bulan kemudian pada saat pihak “Gudang Pabrikan” mau mengirim hasil pembelian Tembakau ke Pabrik. Dari Model “Ranting” ini pada umumnya pihak “Ranting” memiliki gudang sendiri. Biasanya pada saat musim model ini tidak begitu tampak kepermukaan permasalahan dan polemik pada proses pembelian.

Tidak menutup kemungkinan dari model tersebut baik “Bandul” maupun “Ranting” masih ada rantai Tata Niaga lagi antara Petani dan “Bandul” / ”Ranting” ada tengkulak bahkan muncul “Bandul-bandul” lagi. Jadi memang kenyataan lapangan jarang sekali Petani bisa langsung menjual hasilnya ke “Gudang Pabrikan” (bahkan kecil kemungkinan terjadi).
Yang lebih memprihatinkan agak sulit ditemukan petani ansih melainkan kebanyakan masyrakat menjadi buruh tani, bahkan mereka yang memiliki tanah disewakan dan ada yang pemilik tanah lebih suka menjadi buruh tani, yang petani ansihpun sama halnya sebagai buruh tani karena kenyataan mereka modal bertani pinjam, begitu panen hasil penjualan tidak cukup membayar pinjaman tersebut. Apa bedanya kondisi seperti ini bila dibandingkan pada zaman colonial Belanda. Hanya beda pelaku.
Dilihat Sistem Tata Niaga tersebut sangatlah sulit untuk menstabilkan harga tembakau karena mata rantai pembelian tembakau yang terbentuk boleh dibilang panjang sehingga sangatlah tidak menguntungkan bagi Petani khususnya sebagian besar masyarakat Madura, melihat kondisi Sistem Tata Niaga yang sudah demikian Petani jarang meproses Tembakaunya shg menjadi rajangan, yg terjadi Petani menjual Tembakau yang masih belum di Panen/ masih disawah. Kejadian ini Petani semakin tidak menguntungkan.
Padahal kenyataan yang sebenarnya Tembakau Madura merupakan Komoditi yang sangat Potensi bahkan sangat menguntungkan kalaupun Pemerintah mau mengelola secara khusus dan serius, hal ini bisa dibuktikan dengan kasat mata dan siapapun orangnya bisa melihat kenyaataan ini, lebih-lebih pihak perbankkan yang lebih mengetahui peredaran Uang pada saat musim Tembakau / pada saat pembelian tembakau sudah dimulai oleh “Gudang Pabrikan”. Dari sisi lain bisa kita lihat bahwa tembakau Madura sangat potensi, terjadi kesenjangan social antara Petani dengan Orang “Gudang Pabrikan”/”Bandul”/”Ranting” yang sangat mencolok, sampai-sampai ada pemeo di tengah masyarakat “Bandul/Ranting/”Tengkulak” pada misim Tembakau Tidak hanya Keluarganya bahkan kucingnyapun di belikan Mobil baru” bahkan tidak hanya itu, masa-masa kejayaan Petani tembakau sudah musnah pada tahun 70an yang namanya Petani Tembakau pada pasca musim luar biasa perubahan sosialnya pada saat itu sampai bingung untuk membelanjakan uangnya, justru sekarang Petani pasca musim bingung mau bayar utangnya.
Ada suatu kejadian pasca musim tembakau, niaga, perdagangan atau jual-beli tembakau masih terjadi tidak hanya tembakau hasil panen tahun tersebut bahkan tembakau hasil panen tahun-tahun lampau. Artinya apa tembakau merupakan Komodite yang menjanjikan bagi para pialang ataupun pedagang ini lebih mencolok lagi semakin banyaknya gudang bertumbuhan bahkan pemerintah sulit untuk mencegah walaupun sudah melanggar tata ruang yang sudah di Perdakan. ( berlanjut…… )

Jumat, 22 Oktober 2010

PERAN “GERDU-TASKIN” (Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan) Didalam Pemberdayaan Maysarakat PROPINSI JAWA TIMUR




A. UMUM
          Semenjak Era Reformasi paradigm peran Birokrasi / Pemerintah sudah harus berubah mengingat pola berfikir masyarakat sudah menuntut perubahan hal ini sangat terlihat pada rana kehidupan social masyarakat yang sarat akan kompetisi / sangat kompetitif sehingga menuntut perubahan yang sangat tinggi.
Kondisi ini sangat terlihat pada kegiatan Ekonomi masyarakat disemua sector bahkan di bumi tempat manusia berpijak ini sudah tidak ada lagi batas, siapapun orangnya bisa melakukan kegiatan social maupun ekonomi kemanapun yang dinginginkan mengingat komunikasi dan informasi sudah tidak lagi bisa dihalangi oleh siapapun dan siapapun orangnya yang dapat menguasai informasi merekalah yang mempunyai peluang.
Dengan kondisi yang demikian maka yang terjadi merupakan ancaman bagi Negara berkembang seperti Indonesia dan juga merupakan ancaman pula bagi masyarakat karena masyarakat berpotensi memiliki predikat MISKIN bahkan tidak menutupkemungkinan jumlah masyarakat miskin meningkat.
Dalam rangka mengantisipasi kemungkinan tersebut diatas maka peran pemerintah sangatlah penting melakukan perubahan dengan keberpihakan pada masyarakat dalam rangka mengurangi kemiskinan pada masyarakat. Dan ini harus dilakukukan secara terintegrasi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi samapai dengan Pemerintah Kota/Kabupaten bahkan samapai ke Pemerintahan Kelurahan/Desa.

B. PEMBERDAYAAN
          Kemiskinan diakibatkan oleh kondis masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi kompetisi untuk melangsungkan kehidupan. Oleh sebab itu dituntut Pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berpihak pada masyarakat dan memang sudah merupakan kewajiban dari Pusat, Propinsi dan Kabupaten/kota uantuk melakukan kebijakan yang berpihak pada masyrakat terutama Pemerintah Kabupaten/Kota didalam mengimplementasikan tugasnya dan tugas Pemerintah Daerah adalah sebagai Pelayan, Pemberdayaan dan Pembangunan, seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004 yaitu Otonomi daera diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Pelayanan, Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan daya saing daerah.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengurangi Kemiskinan diantaranya melalui Pemberdayaan Masyarakat yang sasarannya adalah masyarakat miskin.
Pemberdayaan Masyarakat bisa dilakukan melalui beberapa aspek diantaranya adalah menciptakan suasana yang memungkinkan berkembangnya Potensi/Daya yang dimiliki masyarakat, melindungi masyrakat melalui pemihakan pada masyarakat lemah, dalam hal ini sasaran biasanya dimilai dari Rumah Tangga miskin.

C. Tujuan Pemberdayaan
          Tujuan Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat, yang tadinya tidak berdaya (miskin) menjadi berdaya (entas dari miskin) hal ini bisa dilakukan melalui :
          1. Penanggulangan kemiskinan dan perlindungan social masyarakat.
          2. Penguatan Kelembagaan dan Modal social masyarakat.
          3. Peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat     
              dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat untuk meningkatkan            
             kehidupan ekonomi, social dan politik masyarakat.
Harapan yang diperoleh dengan keberdayaan masyarakat akan menciptakan berkembengnya potensi/daya yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh sebab itu bidang garapan pemberdayaan masyarakat harus menyentuh ekonomi, social budaya, politik dan lingkungan.

D. GERDU-TASKIN
          Gerdu – Taskin merupakan Program andalan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, karena Gerdu – Taskin merupakan kebijakan local yang merupakan Salah satu Perioritas kebijankan Pembangunan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang sudah merupakan Perda Propinsi Jawa Timur.
Gerdu – Taskin merupakan Progaram Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan yang sasarannya adalah Desa Miskin, Katagori Desa Miskin merupakan Desa yang memliki jumlah masyarakat miskin yg cukup banyak disebut juga Desa Merah perioritas pertama, tidak berarti yang katagori bukan desa merah ditinggal Program ini bertahap yangintinya sasaran utamanya masyarakat miskin ynga berada di desa katagori Kuning dan Hijau, namun dengan Desa Merah digarap lebih dulu dengan harapan akan berdampak pada desa yang tidak merah. Hal ini bisa terjadi mengingat konsep Gerdu – Taskin dalam pemberayaan masyraakat programnya adalah TRIDAYA yaitu Pemberdayaan Ekonomi melalui Pemberdayaan Usaha,
Pemberdayaan Manusia dan Pemberdayaan Lingkungan melalui Pembangunan infra struktur.
Gerdu – Taskin merupakan program yang didanai melalui APBD Propinsi Jawa Timur sejak tahun 2002, kalau dilihat dari data BPS Jawa Timur sangat signifikan dalam menekan laju jumlah kemiskinan di Jawa Timur.
  


E. PELAKSANAAN GERDU – TASKIN
          Program Gerdu-Taskin dirancang khusus sebagai upaya pengentasan kemiskinan dengan pendekatan TRI DAYA, yaitu pemberdayaaan manusia, pemberdayaan usaha dan pemberdayaan lingkungan;  disamping itu juga didukung melalui Program Pengembangan Ekonomi Kawasan, dan Program Pengembangan Desa Model Binaan Gerdu-Taskin bekerjasama dengan Perguruan Tinggi/LSM
Arah Kebijakan Gerdu-Taskin :
  1. Penurunan angka kemiskinan.
  2. Pengurangan jumlah pengangguran.
  3. Peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi RTM.
  4. Pengurangan beban dan perbaikan mutu hidup RTM.
  5. Penguatan kapasitas kelembagaan ekonomi masyarakat miskin.
Disamping dalam pelaksanaannya / implementasinya dengan mendorong Parstipatif baik Pemerintah Kabupaten/Kota terutama Masyarakat dan ini bisa dilihat dari capaian Program Gerdu-Taskin Swadaya Masyarakat dan Shering Kabupaten/Kota cukup signifikan artinya partisipasi masyarakat berjalan.


Melihat dukungan Kabupaten/Kota terutama Masyarakat cukup baik maka Pemerintah Propinsi Jawa Timur tetap konsisten untuk mengalokasikan Dana Melalui APBD Pemerintag Propinsi Jawa Timur guna mengurangi Kemiskinan, ini bisa dilihat dalam capain lokasi dan pendanaan.

Dari data capaian diatas adalah akumulasi dari pelaksanaan Gerdu-Taskin di Kabupaten/Kota Jawa Timur.
Namun dibalik keberhasilan tersebut masih ada beberapa kendala-kendala baik di tingkat Kabupaten/Kota lebeih-lebih di tungkat Desa/Kelurahan lokasi sasaran, untuk meminilisasi kendala-kendala tersebut, Pihak TPP ( Tim Pendamping Propinsi ) selaku Konsultan bersama KTPM-TPM ( Tim Pendamping Masyarakat ) yang mendampingi langsung di tingkat Desa/Kelurahan setiap Tahun melakukan Evaluasi melalui Rakor maupun Laporan, yang kemudian TPP bersama SETAP PROPINSI memperbaruhi atau membenahi Proses/Pelaksanaan Program Gerdu-Taskin tersebut.



D. PELAKSANAAN GERDU-TASKIN KABUPATEN PAMEKASAN
          Capaian pelaksanaan Gedu-Taskin di Kabupaten Pamekasan cukup menggembirakan karena semua Alokasi jenis Program Gerdu-Taskin seperti Program Awal, Program Penguatan dan Desa Model Binaan, seperti Tabel dibawah ini.

Dampak terhadap masyarakat miskin masih perlu ditingkatkan ini bisa kita lihat dari tabel dibawah ini, sampai dengan tahun 2007 dari 37 Desa/Kelurahan yang sudah melaksanakan Program Gerdu-Taskin baru 17 Desa/Kelurahan yang diharapkan dapat berkembang namun yang lebih bisa diharapkan bekembang atau bisa dikembangka hanya 4 Desa/Kelurahan.
Namun pada tahun 2007 Kelurahan Kangenan, Kecamatan Pamekasan mendapat prestasi yaitu peringkat terbaik ke VIII dari 1.680 UPK se Jawa Timur, ini merupakan Prestasi dengan harapan dapat mempengaruhi 37 UPK yang ada di Kabupaten Pamekasan.
Dari kenyataan tersebut diatas perlu adanya upaya kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam upaya untuk melestarikan, mengembangkan kapasitas kelembagaan UPK sehingga peran UPK dapat mengembangkan kelompok masayarakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan saja tidak cukup, harus ada dukungan Politik dari Legislatif sehingga Pemerintah Kabupaten Pamekasan dapat mengalokasikan Dana Pengembangan UPK setiap tahun Pasca Program di Lokasi Program secara rutin dan berkesinambungan, apabila hal ini tidak dilakukan tidak menutup kemungkinan dan bisa dipastikan Pengentasan Kemiskinan melalui program apapun terutama Program Gedu-Taskin akan gagal, artinya angka/jumlah kemiskinan akan meningkat.
Indikasi ini sudah mulai tampak di Kabupaten Pamekasan, ini bisa dilihat pada Updating Data Kemiskinan yang dilakukan (yang sudah dikeluarkan) oleh BAPEDA Kabupaten Pamekasan Tahun 2005, Desa Merah semakin besar dan menyebar artinya Katagori Keluarga Miskin semakin meningkat dan menyebar, dan ini bisa dilhat pula dampaknya pada Data kemiskinan BPS Jawa Timur diatas Tahun 2005 bergerak keatas artinya jumlah kemiskinan bertambah.

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGRAM GERDU-TASKIN
1. Peran Kepala Desa
          Kepala Desa pengaruhnya sangat kuat dalam pengelolaan Program sehingga interfensi terhadap pelaksanaan bahkan dalam proses perencanaan awal sehingga pada saat pembentukan UPK hamapir tidak bisa dihindari pengurus UPK dipegang/diduduki oleh kerabat Kepala Desa bahkan diduduki oleh anak atau saudara Kepala Desa. sehingga berdampak pada sasaran sebagian besar adalah kerabat dekat Kepala Desa, namun selama Pendamping masih terikat Kontrak dampak tersebut masih bisa disiasati atau diminilisir, itupun melalui pendekatan  yang cukup berat karena kalau tidak akan terjadi konflik .Sehingga Pasca Program (pasca berakhirnya Kontrak Pendamping) sudah dipastikan UPK tidak seahat artinya Lembaga UPK tinggal Papan nama dan kegiatannya tidak ada. Program Gerdu-Taskin sudah tidak mampu lagi memberdayakan masyarakat .
Solusi :
1. Pemerintah Kabupaten Pasca Program harus harus mengalokasikan Dana Operasional Sektap dan TFK melalui APBD Kabupaten secara rutin setiap tahun anggaran lebih baik lagi apabila alokasi dana tersebut ada alokasi dana pengembangan UPK, sehingga Pasca Program terusmenerus ada pembinaan dan pengawasan lembaga UPK oleh Sektap dan TFK, karena bagai manapun akan berpengaruh terhadap Kepala Desa.
2. Pada Tingkat Kecamatan dalam rangka Pengawasan dan Pembinaan tidak harus Kasi PMD yang bertugas,  menunjuk staf kecamatan yang ditugasi hanya menangani Program Gerdu-Taskin mengingat Program yang masuk kedesa tidak hanya Gerdu-Taskin sehingga lebih fokus. Hal ini sangat mudah dilakukan oleh Kecamatan karena sudah ada alokasi anggaran secara rutin.
3. TPP-KTPM-TPM tidak lagi dalam kontrak terbatas, model PPK bisa di adopsi sehinga pendampingan terusmenerus.

2. Peran Pendamping
a. Lokasi Pendamping yang sangat berjauhan tidak bisa dihindari bagaimanapun akan berpengaruh terhadap Proses sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas pendampingan
b. Salery / Gaji Pendamping bagaimanapun akan berpengaruh terhadap biaya operasional pada Proses Pendampingan dan akan berdampak pada Kuawalitas Proses Program, suatu contoh tidak bisa disalahkan atau dihindari Kades atau UPK pada saat pendampingan memberi uang saku (TPM akan sulit menolak) mengingat hal tersebut. Kalau ini terjadi akan berpengaruh terhadap Pengelolaan Program.
c. Pendamping (TPM) dalam Pembekalan/Pelatihan kurang dibekali pemikiran/Konsep Pemberdayaan, seperti Pengembangan Usaha, Kewirausahaan, meningkatkan Partisipatif Masyarakat, shingga TPM sibuk dengan pendampinagan Pembukuan.
d. TPM yang terlibat dalam Pemetaan UPK, mengganggu dalam pemenuhan Laporan sehingga berdampak pada Laporan KTPM.
Solusi :
1. Salery / Gaji KTPM-TPM di sesuaikan atau lebih memadai
2. Sebaiknya UPK dibekali juga Pemberdayaan, Kewirausahaan dan peningkatan Partisipatif masyarakat, disamping diberi Program BUJITU (walaupun harus faham proses pembukuan) baik UPK maupun Pendamping.
3. Harus ada kebijakan jadwal pelaksanaan Pemetaan sehingga tidak mengganggu terhadap Laporan.

3. Peran UPK
a. SDM UPK minimal SLTA, sehingga dalam proses pelatihan lebih mudah memahami.
b. UPK kesulitan melakukan pencatatan keuangan (BUJITU) disamping tidak faham membuat SPJ kenyataan dilapangan mau tidak mau UPK harus membuat SPJ karena kalau tidak konsekuensinya harus mengeluarkan biaya pembuatan SPJ disebabkan ketindak mampuan membuat SPJ. Belum lagi keberadaan Timlak yang tdak mengikuti pelatihan.
Solusi :
1. Apabila disetujui UPK minimal SLTA maka diperbolehkan rekrutmen UPK dari Desa yang bersebelahan apabila di Desa tersebut tidak ada.
2. disamping dibekali pembuatan SPJ juga diberi Program Bujitu sehingga UPK tidak disibukkan dengan Pembukuan.



F. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Keberhasilan Program Gerdu-Taskin signifikan terhadap Pemberdayaan Masyarakat.
2. Transparansi Pengelolaan Program Gerdu-Taskin sangat dibutuhkan dalam membangun kepercayaan masyarakat, sehingga menumbuhkan Partispasi Masyarakat.
3. Pengelolaan Program secara berkesinambungan sangat diperlukan karena akan berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan.
4. Pendampingan yang berkesinambungan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan Program Gerdu-Taskin.
5. Peran dan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota sangat dibutuhkan dalam menurunkan angka kemiskinan.
6. Program Gerdu-Taskin merupakan Gerakan Terpadu dalam rangka Mengentaskan Kemiskinan sehingga membutuhkan dukungan Lintas sektoral dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan baik di tingkat Propinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota.
7. Dana Shering dan Lokasi Shering (Maching) perlu diperbesar sehingga Tanggung jawab dan peran Kabupaten/Kota merasa ikut memiliki Program. Dan perluadanya pendekatan ke Pemerintah Pusat sehingga dapat dilibatkan dalam bentuk peran lokasi Program Gerdu-Taskin Dana Pusat di Jawa Timur. Dengan alasan Pengentasan Kemiskinan masyarakat Jawa Timur tidak hanya tanggung jajaran Pemerintah Jawa Timur melainkan juga Pusat.
8. Tahapan Program Awal, Penguatan, Lanjutan maupun Binaan Pelakasanaannya perlu diintegralkan secara sinambung disetiap lokasi sasaran sehingga tidak ada tenggat waktu sehingga keberhasilan dapat diukur dengan jelas baik kualitatif maupun  kuantitatif.
9. Program Gerdu-Taskin harus dipertahankan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur mengingat Penduduk Jawa Timur terpadat di Indonesia, karena tidak cukup mengandalkan Program Pengentasan Kemiskinan dari Pemerintah Pusat. Untuk menekan angka kemiskinan di Jawa Timur.
                                                                   PAMEKASAN, 27 JANUARI 2009



                                                                           M. HAZIN MUKTI



MEMPERSIAPKAN WILAYAH MADURA PASCA SURAMADU

 

 




Oleh : M. HAZIN MUKTI
          Staf Pengajar Fakultas Teknik – Universitas Madura
          Direktur IPPAD

          Mari kita lihat Pemikiran-pemikiran cemerlang tentang Jembatan Suramadu dengan Industialisasi Madura mulai dari Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, kita masih ingat Konsep B J Habibi tentang Industrialisasi Madura yang sangat didukung oleh Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Madura ( Tokoh Madura ) sangat luarbiasa Publikasi dan Sosialisasinya inipun GAGAL TOTAL, kegagalan ini justru terletak pada analisa perencanaan yang dikarenakan input data tentang kondisi Madura tidak sesuai, sehingga Tokoh-tokoh Masyarakat  beserta Ulama yang berdomisili di Madura terpaksa mempertanyakan Kosep Industrialisasi tersebut bahkan menolak Konsep tersebut, penolakan teresebut sebenarnya bukan menolak Industrialisasi Madura melainkan Konsepnya (Perencanaannya) yang diprediksi sangat merugikan Masyarakat Madura.
Kegagalan itu mulai di sadari oleh Pemerintah Pusat indikasi ini bisa kita lihat pada saat Kelompok CIDES ( dengan Fasilitator Adi Sasono dan Didik J Rahbini beserta Timnya ) untuk mencoba merevisi konsep dan memfasilitasi kembali tentang Konsep Industrialisasi Madura itu belum bisa memberikan jawaban yang dapat benar-benar mengangkat martabat Masyarakat Madura. Yang lebih menyakitkan lagi dampak kegagalan Konsep tersebut salah satu Perguruan Tinggi jadi korban, disini lagi-lagi Ulama beserta Tokoh masyarakat Madura bekerja keras untuk menyelamatkan Perguruan Tinggi tersebut bahkan yang akhirnya bisa menjadi Perguruan Tinggi Negri.
         
          Lain halnya dengan Upaya Pemerintah Propinsi Jawa Timur  utuk memikirkan atau upaya mensejahterakan Masyarakat Madura melalului Kosep  GERBANG KERTA SUSILA walaupun sebenarnya Konsep ini tidak hanya untuk Masyarakat Madura melainkan sebagai Kawasan Penyanggah dalam rangka  perluasan Kawasan Industri namun diharapkan berdampak pada masyarakat Madura, inipun  Peemerinlah Propinsi Jawa Timur GAGAL mewujudkan untuk Wilayah Kab. Bangkalan. Salah satu factor kegagalan bukan pada tataran Konsep maupun Perencanaan melainkan dampak dari Kegagalan Konsep Industrialisasi Madura oleh Pemerintah Pusat. Sehingga untuk pengembangan Kawasan Wilayah Kab. Bangkalan bergeser ke Kabupaten Tuban.
          Masih berkaitan dengan SURAMADU Pemerintah Propinsi Jawa Timur Kosepnya masih untuk kepentingan Pemerintah Propinsi yaitu tidak jauh beda dasar pemikiran SURAMADU mengadopsi atau mempertahankan Konsep GEBANG KERTA SUSILA ini bisa dilihat dari WACANA SURAMADU seperti BOM (Badan Otoritas Madura)dan  BP3KS(BADAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS ) konsepnya masih Wilayah Ujung Jembatan Suramadu, mari kita lihat Poin demi poin dari Draf Konsep tersebut tidak satupun membahas Pengembangan Wilayah Madura melainkan Wilayah / Kawasan seputar Ujung Jembatan SURAMADU yaitu  ± 300 Ha ini artinya Kosep dasarnya tidak jauh beda dengan GERBANG KERTA SUSILA. Dengan dalih  didasarkan pada UU 32 / 2004 pasal 1.19  tentang Kawasan Khusus. Jadi Kosep ini sangat memprihatinkan mengingat dasar kajiannya  hanya satu ayat dalam pasal UU 32 / 2004 sedangakan UU dan Peraturan yang lain di abaikan, hanya untuk memaksakan Konsep. Kalau sudah dipatok / dipaksakan seperti ini sudah dapat dipastikan Tidak lagi berdasarkan aturan main Pada Proses Perencanaan yang telah diamanahkan dalam : 
1.   Undang-Undang  Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
2.   Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3.   Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi.
7.   Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.  
  1. Peraturan Pemerintah Nomor  72 Tahun 2005 tentang Desa.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
  3. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 1181/M.PPN/02/2006 dan 050/244/SJ, tanggal 14 Pebruari 2006 perihal Petunjuk Teknis  Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007.
  4. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor  8 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 -2008.

Kalau Dasar Pemikiran Perencanaan Pasca SURAMADU untuk Wilayah Madura akan berdampak sangat signifikan terhadap Masyarakat Madura seharusnyalash Konsep Perencanaannya tidak lagi Parsial melainkan Integral jadi harus disiapkan Betul Proses Perencanaan dari Tingkat Desa / Kelurahan dengan melibatkan Peran aktif Masyarakat ( Perencanaan Partisipatif ) sebenarnya Pemerintah Propinsi  Jawa Timur sudah memiliki Konsep Pemikiran dalam Mekanisme Perencanaan tersebut walaupun juga masih dalam Tataran Wacana tapi kalau dilihat sangat Berpihak Pada Masyarakat karena Konsep Mekanisme Perencanaan tersebut dituntut keterlibatan secara aktif masyarakat ( Partisipasi Masyarakat ) Konsep tersebut adalah        Sistem Manajemen Pembangunan Partisipatif (SMPP) “  yang digagas oleh BAPPEDA Provinsi Jawa Timur.
Sistem Manajemen Pembangunan Partisipatif (SMPP) sangat diperlukan untuk mempersiapkan Masyarakat Madura Pasca Pembangunan SURAMADU sehingga di Timgkat Desa / Kelurahan dapat :
a.    Mempertajam sistem perencanaan pembangunan Desa/Kelurahan sebagai bentuk penyempurnaan sistem perencanaan pembangunan nasional.
b.   Mengoptimalkan kualitas perencanaan dan pengelolaan pembangunan Desa/Kelurahan secara partisipatif dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa/Kelurahan (RPJM Desa/Kelurahan), Rencana Kerja Pemerintah Desa/Kelurahan (RKP Desa/Kelurahan), Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes) sebagai satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan daerah kabupaten-kota.
Sehinga dapat di dorong :
a.    Peningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pada semua tahapan kegiatan pembangunan, terutama pada proses perencanaan dan penganggaran.
b.   Pendayagunakan potensi sumber daya lokal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian.  
c.    Pemantapkan fungsi dan peranan lembaga masyarakat dalam memfasilitasi pemberdayaan dan pelaksanaan program pembangunan.
d.   Peningkatkan peran aparatur pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan.
e.    Pensinergian berbagai pemeran pembangunan (stakeholders) dalam pengelolaan pembangunan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan tindak lanjut program.

Denagan catatan Proses tersebut tetap berpegang pada prinsip sbb :
          1.  Partisipatif, memeransertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik sebagai pengelola, pemanfaat, pengawas dan pelestari pembangunan.
          2.  Berbasis Kemampuan Lokal, mendayagunakan segenap potensi, modal sosial, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki demi mewujudkan kesejahteraan, keswadayaan dan kemandirian.
          3.  Proses Pembelajaran, mendorong dan memberikan peluang terjadinya berbagi pengalaman untuk peningkatan kapasitas.
          4.  Akseptabel, pengelolaan kegiatan dilaksanakan berdasarkan konsensus antar pemeran pembangunan, sehingga memperoleh dukungan semua pihak.
          5.  Keterpaduan, program dikembangkan secara utuh dan menyeluruh serta dilaksanakan dengan mengoptimalkan kerjasama antara masyarakat, pemerintah dan pemeran pembangunan lainnya.
          6.  Keberpihakan, memprioritaskan kegiatan pembangunan pada pemberdayaan penduduk miskin, kelompok-kelompok marjinal,    berwawasan keadilan dan kesetaraan gender.
          7.  Keterbukaan, semua informasi dan kegiatan pembangunan dikelola secara terbuka oleh masyarakat sehingga kontrol masyarakat dapat terwujud demi mendorong partisipasi.
          8.  Akuntabel, pengelolaan program harus dapat dipertanggung jawabkan  secara moral, teknis, administratif dan publik.
          9.  Berkelanjutan, pengelolaan program mampu menumbuhkan peranserta masyarakat untuk memanfaatkan, memelihara, melestarikan dan mengembangkan program.

Kegiatan dalam Proses tersebut yg harus dilakukan meliputi :
1.   Pengkajian Potensi dan Masalah, yakni  aktifitas penggalian aspirasi secara partisipatif guna mengenali, menemukan dan merumuskan potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai titik tolak penentuan prioritas program.
 
2.   Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan
Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan difokuskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Desa/Kelurahan, APBDes  

3.   Penyelenggaraan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan dilaksanakan  pada level Desa/Kelurahan, Kecamatan maupun kabupaten-kota. Adapun Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan terdiri dari:
                        a.    Musrenbang Desa/Kelurahan
                       b.    Musrenbang Kecamatan
                        c.    Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD)
                       d.    Musrenbang Kabupaten-Kota.
4.   Penyusunan dan Penetapan Anggaran Pembangunan yang memberikan ruang partisipasi publik dalam proses pembahasan RAPBD Kabupaten-Kota maupun penyusunan RAPBDes. 

5.   Pelaksanaan Program
Merupakan kegiatan merealisasikan rencana pembangunan baik yang didanai oleh swadaya murni masyarakat, Alokasi Dana Desa (ADD)  maupun dari sumber anggaran lainnya. Pelaksanaan pembangunan harus berbasis pada: (i) komitmen dan peningkatan kemampuan masyarakat serta pendayagunaan sumber-sumber lokal (community based development), (ii) peran serta kelembagaan lokal sesuai dengan fungsi, minat dan kepentingannya dalam program (community based organization), (iii) menempatkan pemerintah dan pemeran lain sebagai fasilitator dan katalisator (technical assistance) yang  mendukung, melengkapi, memperkuat, menunjang  dan memperlancar proses pelaksanaan program. 

6.   Pertanggungjawaban dan Tindak Lanjut Program
                        a.    Pertanggungjawaban merupakan kegiatan menyampaikan, menilai, membahas dan menetapkan pertanggungjawaban pengelola kegiatan pembangunan baik secara administratif maupun publik.
                       b.    Tindak Lanjut Program merupakan kegiatan-kegiatan lanjutan dari program yang telah selesai dilaksanakan berupa pemeliharaan,  pelestarian dan pengembangannya.   
                                     c.      Melalui kegiatan ini diperoleh gambaran pencapaian program dengan mendayagunakan sumberdaya secara efisien dan optimal, dengan mempertimbangkan faktor penghambat dan pendukung, serta permasalahan yang dihadapi. Disamping itu, melalui kegiatan ini dapat dirumuskan berbagai rekomendasi penyempurnaan serta  agenda kegiatan lanjutan demi mengoptimalkan pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan kegiatan secara lestari dan berkesinambungan.

7.   Pengendalian Program
a.    Kegiatan pengendalian program dilakukan pada seluruh aktifitas pengelolaan pembangunan, sejak pengkajian potensi dan masalah sampai dengan pertanggung jawaban dan tindak lanjut program.
b.   Pengendalian program dilakukan demi menjamin kesesuaian program yang dilakukan dengan yang direncanakan serta memberikan koreksi atas penyimpangan atau ketidakmampuan dalam pelaksanaan program.
c.    Pengendalian program pembangunan dilaksanakan melalui koordinasi kegiatan, pelaporan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi, serta  bimbingan dan pembinaan.

8.   Dukungan Fasilitasi
a.    Merupakan kegiatan yang bersifat mendukung dan menunjang optimalisasi kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak antara lain pemerintah, dunia usaha, LSM dan Perguruan Tinggi maupun stakeholders lainnya.
b. Dukungan fasilitasi antara lain berbentuk pendampingan, konsultansi, manajemen dan teknologi, permodalan, pengembangan SDM, pengembangan infrastruktur, kemitraan dan lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sasaran.

Mekanisme Model seperti ini harus segara dimulai dan harus menjadi Program Perioritas oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk menyiapkan Masyarakat Wilayah Madura sehingga Masyarakat lebih siap menghadapi Perubahan Pasca Pembangunan SURAMADU.
BP3KS oke bisa terapkan mengingat untuk :
1.   Dalam rangka mengembalikan dana pinjaman pembangunan SURAMADU
2.   untuk mendorong pengembangan kawasan tsb.
3.   dll

Tapi perlu diingat “Putaran Uang” yang terjadi sudah dipastikan lebih banyak diluar Wilayah Madura hal ini terjadi selama sehingga membuat petumbuhan Ekonomi lamban, salah satu faktornya adalah selama ini RAPBD di Kabupaten Wilayah Madura baik proses , perenaannya dan pelaksanaannya tidak memenuhi Prinsip – prinsip GOOD GOVERNENCE DAN TIDAK PARTISIPATIF ( seperti SMPP tersebut diatas )
Untuk mengantisipasi Putran Uang lebih banyak prosentasenya di Wilayah Madura harus di bentuk Badan (Badan Otoritas Madura) yang areal kewenangannya mencakup Wilayah Madura tidak lagi seperti BP3KS bertugas sbb:
1.   Menangani semua Transaksi Bisnis ( Transaksi Harus di Wilayah Madura )
2.   Mengembangkan hasil dari SMPP (Karen sangatlah tidak mungkin RAPBD dapat membiayai hasil dari SMPP tersebut )
shg dapat menginfestasikan kembali dari hasil transaksi Bisnis tsb. Dengan demikian PAD akan terangkat.
3.   Mengembangkan Bisnis dalam bentuk Infestasi yg menyebabkan Putaran Uang keluar Wilayah Madura.
4.   dsb.

Semua Pemikiran diatas tersebut  tetap berpijak pada KULTUR MADURA sehingga Nuansa kekentalan Islami tetap dikembangkan terutama Pondok Pesantren mengingat Konstribusi Pondok Pesantren terhadap pengembangan SDM Masyarakat Madura sangat besar, Mari kita lihat rialitas Lapangan. Dari sekian Ragam Lembaga Pendidikan yang mampu menyerap anak didik yang paling besar adalah Pondok Pesantren, lebih – lebih dari Luar Wilayah Madura. Dilihat dari kenyataan ini sebenarnya Pondok Pesantren suatu Potensi Pendidikan kedepan yg perlu di perioritaskan di Bidang Pendidikan yang selama ini Pemerintah Daerah di Wilayah Madura sangat tidak mempedulikan ini bisa dilihat Hampir nol bahkan nol RAPBD menngarah ke Pondok Pesantren.     


Direktur IPPAD
M. HAZIN MUKTI